Sukses di lahan gambut
Pada 1996, Ali ke Palangkaraya. “Saya melihat sendiri, di sana tidak ada satu pun petani yang mengusahakan lahannya untuk bertani. Jadi mereka tefgantung pangan dari Jawa,” katanya. Lahan di Palangkaraya tergolong ganas bagi pertanian konvensional. Lapisan atasnya ditutupi gambut, sedangkan di lapisan bawah terdapat pasir kuarsa. “Ada yang kemudian membakar gambut untuk bertani. Kalau terus-terusan, Palangkaraya bisa jadi gurun pasir.”
Saat itu, Ali membawa strain mikroba temuannya saat kuliah. Dia mencobakan mikroba itu ke dalam pot berisi tanah gambut untuk menanam tomat. Berhasil. Meski belum yakin betul, Ali mulai punya bayangan bahwa gambut tidak seburuk sangkaan orang.
Lulus tahun 1997, sarjana baru itu bergabung dengan program transmigrasi andalan Soeharto Proyek Pengembangan Lahan Gambut Sejuta Hektare. Pada 1998, Ali ditempatkan di daerah Kapuas. Faktor kesulitannya tinggi. “Di atas gambut, di bawah racun. Banyak kandungan pirit (FeS2), aluminium, besi dan mangan (Mn).”
Lantaran itu lahan Kapuas seolah membal. Jika dipaksakan, tanaman tahunan keburu mari sebelum dipanen. Tanaman musiman seperti palawija juga tidak akan bertahan karena unsur haranya sangat minim. Saat itu, solusi instan datang dari pemerintah. Berton-ton kapur dikapalkan ke Kalimantan untuk menetralisasi keasaman gambut. Satu ten kapur ditebar di atas 1 hektare lahan. Saat Sungai Kapuas meluap, tanah itu kembali asam karena kapurnya tercuci. Sistem drainase juga bukan solusi karena pirit justru masuk ke perairan dan membunuh ikan-ikan di Kapuas. Ali makin yakin, substansi masalah terletak pada gambut itu sendiri, yaitu bagaimana mengondisikan kesuburannya.
Pertanyaan itu menggayuti Ali berhari-hari. Ia belum yakin, temuannya yang sukses di Palangkaraya-membenamkan mikroba pada pasir–bisa berhasil di Kapuas. Saat berjalan-jalan mengunjungi temannya yang bertugas di kawasan dekat Barito Selatan, Ali menemui anomali. “Di sana, gambutnya lebih dalam. Tapi ada tanaman sejenis kacang-kacangan, juga ada yang berdaun lebar. Tumbuhan itu bukan vegetasi asli gambut, tapi bisa hidup normal.”
Cepat Ali mengambil sampel dan membawanya ke tempat ia bekerja. Ia melakukan isolasi di laboratorium sederhana. Pengalaman saat skripsi menyelamatkan Ali. “Kuncinya api. Kita bekerja pada tabung reaksi diatas api. Yang penting steril,” ujarnya, tersenyum.
Strain mikroba yang ia biakkan itu kemudian dicobakan ke petani binaannya. Beberapa kali, kedelai, jagung, dan cabai terbukti berhasil ditanam di lahan gambut yang sudah diberi mikroba. Saat ber-tanam padi, Ali seperti berjudi. Dalam sejarah, belum ada yang mampu menanam padi di lahan gambut. Toh Ali berhasil, panen padi menjadi 6 ton per hektare. Keberhasilan itu tersiar cepat. Ahli tanah dari IPB, Profesor Goes-wono Soepardi, termasuk yang angkat topi. Ali mematahkan pendapat buruknya Kalimantan untuk pertanian karena tanah tidak subur -mengandung pasir kuarsa, sulfat masam, pirit, dan gambut. “Tapi orang salah. Iklim di sana luar biasa untuk pertanian. Kalau tanah bisa dikondisikan, kita bisa jadikan Kalimantan sebagai sentra tebu dan singkong. Juga kedelai. Pangan kita bisa mandiri segera. Negara ini akan merdeka lepas dari tekanan-tekanan negara lain,” tegasnya
Artikel Terkait :
mikroba google merubah gurun menjadi subur
export mikroba google
kedelai raksasa dengan pupuk mikroba google
Tidak ada komentar:
Posting Komentar