SENTRA KEDELAI DI LUAR JAWA DAN DAERAH TRANSMIGRASI SEBAGAI PENYEDIA
BENIH KEDELAI JABALSIM
Oleh: Prof Ali Zum Mashar
A. PENDAHULUAN
Kebutuhan kedelai nasional dari tahun ke tahun terus meningkat, tetapi peningkatan kebutuhannya tidak diikuti dengan peningkatan produksi di dalam negeri secara significant. Pada jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 120 juta jiwa pada tahun 2005 kebutuhan konsumsi kedelai mencapai 3 juta ton. Saat ini kebutuhan total kedelai di Indonesia mencapai 2.765.149 ton yang terdiri produksi dalam negeri 748.272 ton dan impor 2.021.877 ton (BPS, 2002). Impor kedelai sebagian besar dalam bentuk kedelai biji ose 1.1362419 ton dan bungkil kedelai 1,082.949 ton (BPS, 2001). Untuk mengimpor kedelai tersebut negara harus mengeluarkan devisa sekitar 4,6 triliun rupiah setiap tahunnya.
Kebutuhan kedelai di Indonesia sebagian besar adalah untuk bahan baku konsumsi langsung masyarakat seperti untuk tahu, tempe, susu kedelai, kecap dan lainnya. Kedelai memang dipandang sebagai komoditas strategis mengingat manfaat dan nilai gunanya yang tinggi. Keragaman produk olahan dari komoditas kedelai ini memiliki nilai tinggi untuk digunakan sebagai bahan pangan langsung sampai produk olahan industri tinggi seperti produk-produk pangan berprotein tinggi, tinta, bahan pakaian, dan bahan baku industri lainnya.
Melihat nilai strategis pangan kedelai di Indonesia tersebut pengembangan komoditas ini di Indonesia justru terus mengalami kemunduran. Salah satu penyebab adalah semakin berkurangnya lahan pertanian kedelai di pulau Jawa karena bergeser ke pemukiman dan industri, dan petani beralih bertanam hortikultura yang padat modal dan bernilai tinggi. Disamping itu, ketidak stabilan harga kedelai saat panen raya dimana petani sering mendapatkan harga yang rendah saat panen karena masih buruknya tata niaga kedelai.
Pada saat ini harga kedelai di dalam negeri membaik yaitu Rp. 4000/kg dari harga sebelumnya Rp. 2400/kg. Hal ini karena berkurangnya suplai kedelai dunia akibat berkurangnya produksi kedelai Negara produsen dan meningkatnya permintaan dunia akan kedelai. Kondisi ini diharapkan sebagai peluang untuk mendongkrak produksi kedelai dalam negeri, petani kembali tertarik untuk mengembangkan kedelai sebagai bagian usaha taninya.
Tulisan ini bertujuan untuk memberikan alternative untuk peningkatan produksi kedelai melalui optimalisasi pemanfaatan teknologi dan pengembangan lahan pertanian kedelai di luar jawa. Memberikan alternatif pengembangan sentra kedelai diluar jawa melalui pemanfaatan dan pemberdayaan daerah transmigrasi.
B. INDUSTRI BENIH DAN PRODUKSI KEDELAI DI LUAR JAWA
Industri benih penting untuk memacu peningkatan produksi kedelai. Benih yang bermmutu baik akan menjamin kepastian tumbuh dan mampu berproduksi sesuai deskripsinya. Industri benih tidak dapat berkembang jika hanya mengandalkan pengemabangan lahan kedelai di pulau Jawa yang semakin menurun luasan tanamnya. Pengembangan kedelai di luar Jawa memiliki peluang yang besar untuk bangkitnya industri benih kedelai dan lahan pertanian di luar jawa yang lebih maju cara budidayanya adalah daerah yang memiliki transmigran.
Seiring padatnya penduduk di pulau Jawa keberadaan lahan tanaman pangan khususnya kedelai terus mengalami alih fungsi untuk kebutuhan pemukiman dan komoditi yang memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi seperti hortikultura. Upaya ekstensifikasi melalui pengemabngan kedelai di luar pulau Jawa seperti daerah transmigrasi dipandang sebagai solusi peningkatan produksi untuk mengimbangi tingginya permintaan konsumsi yang terus membengkak. Upaya ekstensifikasi melalui pembukaan lahan pertanian baru tidak memberikan dampak terhadap peningkatan produksi jika tidak diikuti penerapan teknologi, pola bertani yang benar dan kebiasaan bertani tanaman pangan seperti kedelai karena cara bertani mereka yang masih alakadarnya dan subsisten. Daerah baru transmigrasi memiliki peluang sebagai daerah sentra produksi karena petani transmigrannya sebagai perintis yang membuka wacana baru dan memperkenalkan cara-cara bertani intensif budidaya tanamanan pangan bagi petani daerah setempat.
Sesuai dengan tujuan transmigrasi dalam paradigma barunya bahwa dalam rangka pembangunan daerah untuk mandiri maka kederadaan kawasan transmigrasi didorong untuk dapat bersama berpartisipasi aktif memberikan sumbangan bagi pembangunan daerah diantaranya bagi penyediaan pangan daerah, dan secara nasional dapat memacu pertumbuhan pembangunan pertanian di daerah tujuan. Bersama dengan program pemerintah khususnya upaya untuk meningkatkan produksi dan produktivitas secara nyata, membuka areal baru pertanian yang dapat digunakan untuk komoditas pangan seperti kedelai dipandang penting.
Keberhasilan Negara berkembang menjadi Negara produsen kedelai dunia seperti Brasil dan India adalah karena 60 % luas areal kedelainya adalah dari ekstensifikasi dengan membuka lahan barunya. Jika hal ini tidak dapat dilakukan di Indonesia mustahil kebutuhan kedelaai dapat dipenuhi dari produksi di dalam negeri.
Perluasan areal lahan petanian baru untuk tanaman pangan seperti kedelai dapat ditempuh melalui upaya-upaya antara lain: (1) Memanfaatkan lahan lebak dan pasang surut, dan lahan kering di luar Jawa (2) Mengoptimalkan lahan tidur dan lahan tidak produktif di pulau Jawa. Kedua pilihan di atas mutlak harus di barengi dengan menerapkan teknologi produktivitas mengingat sebagian besar lahan baru untuk kedelai tersebut tidak subur dan memiliki hambatan-hambatan fisik, kimia dan Biologi.
Potensi Luas lahan pasang surut dan Lebak di Indonesia diperkirakan mencapai 20,19 juta hektar dan sekitar 9,5 juta hektar berpotensi untuk pertanian serta 4,2 juta hektar telah di reklamasi untuk pertanian (Ananto, E.,2002). Memanfaatkan lahan lebak dan Pasang Surut dipandang sebagai peluang terobosan untuk memacu produksi meskipun disadari bahwa produktivitas di lahan tersebut masih rendah. Disamping untuk tanaman padi sebagai prioritas, lahan ini dapat digunakan untuk tanaman Jagung dan Kedelai. Dilahan lebak/pasang surut dengan penerapan teknologi konvensional hasil kedelai masih rendah yaitu antara 0,8 ton/ha sampai 1,5 ton/ha. Kendala utama pengembang di lahan ini adalah keragaman sifat fisiko-kimia seperti pH yang rendah, kesuburan rendah dan keracunan tanah dan kendala Bio fisik seperti pertumbuhan gulma yang pesat, OPT dan cekaman Air.
Sedangkan lahan kering di Indonesia ada sebesar 11 juta hektar yang sebagian besar berupa lahan tidur dan lahan marginal sehingga tidak produktif untuk tanaman pangan. Di Pulau Jawa yang padat penduduk, rata-rata pemilikan lahan usaha tani berkisar hanya 0,2 ha/KK sehingga seiring berjalannya reformasi banyak lahan kering areal hutan yang kayunya telah habis dijarah dan tinggal lahan tidur yang terlantar, kembali ditanami petani dengan tanaman jagung dan kedelai bahkan padi gogo dan singkong. Ada 300.000 ha lahan kering terbengkelai di Pulau Jawa dari kawasan hutan yang menjadi tanah kosong terlantar. Masyarakat sekitar hutan dengan desakan ekonomi dan tuntutan lapangan kerja tidak ada pilihan lain untuk memanfaatkan lahan-lahan kritis dan lahan kering tersebut untuk usaha tani pangan. Sedangkan lahan kering di luar pulau jawa masih sangat luas dan belum di kelola secara optimal untuk mendukung pertanian tanaman pangan khususnya kedelai. Budidaya konvensional di lahan tersebut pada umumnya memiliki produktivitas rendah yaitu 0,6 – 1,1 ton/ha kedelai ose, tetapi pemanfaatannya berdampak positif bagi peningkatan produksi secara kuantitatif.
Daerah bukaan baru transmigrasi pada umumnya memiliki kondisi yang tidak jauh berbeda dengan kondisi tersebut. Namun seiring dengan waktu intensifikasi dan teknik budidaya menjadi semakin maju, apalagi pada masa keterbukaan informasi dan teknologi saat ini. Seperti ditemukannya teknologi baru misalnya Bio P 2000 Z dengan memanfaatkan mikroba penyubur dan pengendali kesuburan tanah di lahan maeginal dan lahan baru tersebut produktivitas tanaman pangan seperti kedelai mampu ditingkatkan lebih tinggi dibanding produktivitas di lahan subur yang dibudidayakan secara konvensional. Ternyata dengan sistem demikian masalah tersumbatnya produksi komoditi pertanian dapat dipecahkan.
Efek mikroba memiliki manfaat yang besar dalam mengendalikan lingkungan mikro tumbuh kembang tanaman yang secara sinergi memberikan manfaat: (1) diredamnya faktor penghambat tumbuh kembang tanaman yang dijumpai dalam tanah termasuk menetralkan kemasaman lahan, (2) adanya produksi senyawa bio-aktif seperti enzim, hormon, senyawa organik, dan energi kinetik yang memacu metabolisme tumbuh kembang akar dan bagian atas tanaman (3) pasok dan penyerapan hara oleh akar makin efesien, lancar, dan berimbang, (4) ketahanan internal terhadap hama dan penyakit meningkat. Budidaya dengan menerapkan teknologi ini secara baik di lahan jenis tersebut mampu menghasilkan produktivitas yang tinggi sehingga usaha tani pangan di lahan tersebut akan dapat bersaing. Menjadikan bukaan baru seperti lahan lebak dan pasang surut untuk usaha pertanian harus didukung dengan teknologi dan infrastruktur yang memadai sehingga luasan lahan ini memiliki prospek ekonomis dan menjadi pendukung untuk peningkatan produksi kedelai dalam mencapai kemandirian pangan Indonesia.
Prospek pengembangan kedelai di luar Jawa khususnya di lahan transmigrasi diinformasikan bahwa Kedelai Teknologi Bio P 2000 Z yang diuji cobakan di daerah transmigrasi seperti di Balai pelatihan transmigrasi di Palangkaraya Kalimantan Tengah dapat memiliki produktivitas rata-rata 3,4 ton/ha, hal yang dianggap mustahil sebelumnya pada tanah yang didominasi pasir kuarsa. Uji coba lanjut yang dilakukan bersama petani di kebun percobaan dihasilhkan rata-rata dari petak perlakuan sebesar 2,5 - 6,5 ton/ha (telah di ekspose Sinar Tani edisi 17 Maret 1999). Pembuktian teknis oleh penemunya di lahan masam gambut, sulfat masam dan berpirit di PLG Kapuas telah teruji sejak tahun 1998-2000, mampu melipatgandakan produksi lebih dari 250% dari rata-rata setempat. Bahkan di lahan kritis yang memiliki tipe tanah marginal pasir kuarsa (di Palangka Raya dan UPT Sei Gohong), teknologi ini mampu memberikan hasil produksi dengan kisaran hasil mencapai 3,8 ton/ha jauh lebih tinggi dari hasil cara konvensional (umum petani) hanya mampu 0,4 - 0,6 ton/ha. Pada tipe lahan sejenis, peningkatan produksi juga tercapai oleh petani di Gagutur, Barito Selatan (Kalteng).
BAGAIMANA CARA BUDIDAYA KEDELAI DENGAN TEKNOLOGI BIO PERFORASI (BIO P 2000 Z) ?
Hasil produksi Riil dari penanaman bulan Juni 2000 di lahan Gambut PLG Kapuas Kalteng dan lahan pasang surut bergambut Masuji-Lampung telah dipanen oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dengan produksi rata-rata 2,5 ton/ha hingga mencapai 5,1 ton/ha dari penanaman 300 ha yang tersebar di dua kawasan transmigrasi di atas; dan di Air Kubang Padang, Musi Banyuasin – Palembang pada lahan pasang-surut mampu menghasilkan 4,2 ton/ha sementara bila dibandingkan rata-rata umum produksi konvensional di PLG hanya 0,6 - 0,8 ton/ha. Di Majalengka (2001) 3,2 – 3,8 ton/ha; potensi di hamparan perak Sumut 3,5 – 5 ton/ha dari rata-rata umum setempat 0,8 – 1 ton/ha serta panen di Tanjung Morawa-Deli Serdang (Sumut, 21 juni 2001) berhasil di ubin oleh wakil gubernur mencapai panen dengan hasil 2,58 – 4,16 ton/ha pada varietas kedelai lokal kipas putih. Untuk kedelai edamame basah, potensi yang dihasilkan 8 -11 ton/ha dibanding rata-rata umum petani 4 - 5 ton/ha basah (hasil penerapan di parung-bogor).
Di Jambi (Agustus 2002) di Tanjung Jabung Timur, telah di Panen Gubernur Jambi hasil rata-rata mencapai 3,5 ton/ha (2,6 ton/ha – 4,6 ton/ha) dari kedelai uji coba 100 Ha bahkan teknologi ini telah diterapkan oleh petani diuntuk ternak, ikan dan tanaman lainnya. Ujicoba maupun uji komersial lain juga telah dilakukan di daerah-daerah sentra kedelai eks. Transmigrasi seperti di Lombok NTB, Andonara NTT, Gorontalo, Makassar (Sulsel), Maluku Tengah, Nabire dan Merauke (Papua) yang semuanya menunjukkan pelipat gandaan hasil yang significan.
Melihat kenyataan di atas maka solusi terbaik adalah:
(1) pemerintah memberikan dorongan pengembangan kedelai di luar Jawa dan melakukan ekstensifikasi secara serius yang dibarengi dengan penerapan teknologinya
(2) memberikan bimbingan teknologi budidaya khususnya untuk menerapkan teknologi secara tepat guna dengan menyertakan teknologi Bio/hayati guna meningkatkan kesuburan lahan dan menjamin usaha tani yang berkelanjutan dan ramah lingkungan dan
(3) Melibatkan steak holder dan swasta yang memiliki komitmen menunjang dalam sistem Agribisnis tanaman pangan sehingga akan menjamin kepastian pasar, Sarana Input teknologi produktivitas dan nilai tambah dari usaha tani terpadunya.
Kontribusi daerah transmigrasi dapat diharapkan sebagai salah satu faktor pemacu pembangunan pertanian pangan daerah untuk menuju kemandirian pangan. Sebagai contoh: jika 150.000 ha dari lahan transmigran digunakan untuk budidaya kedelai dan jika dengan tambahan teknologi produktivitas bio/organik dapat menghasilkan rata-rata 2,2 ton/ha yang dilakukan dengan 2 kali MT., maka akan terjadi penambahan produksi sebesar: 660.000 ton kedelai, berarti akan mensubstitusi lebih dari 40% impor kedelai. Multiple effek dari usaha tani komoditas tanaman ini sangat berarti dalam upaya penyediaan benih yang disediakan oleh industri benih sebesar 6.000 ton setiap kali tanam. Produksi benih kedelai di daerah transmigrasi akan dapat meningkatkan kesejahteraan petani dan masyarakat sekitar, sedangkan peningkatan produksi yang dicapai berarti bagi kepentingan nasional yang sangat relevan dengan upaya ketahanan pangan dan penghematan devisa.
C. BUDIDAYA KEDELAI DENGAN OPTIMALISASI TEKNOLOGI HAYATI/ORGANIK
Meningkatkan produksi kedelai seperti melalui intensifikasi dengan penerapan teknologi hayati tepat guna yang mampu meningkatkan produktivitas bertujuan untuk menjamin efisiensi dan kesinambungan usaha tani kedelai sehingga mampu terjamin keuntungannya dengan harga jual yang bersaing di pasaran bebas. Kunci keberhasilan usaha diatas adalah harus ada kekuatan teknologi tepat daya yaitu yang tepat, teruji dan adaptif berikut SDM penyertanya (ada pendamping dan transformator) yang mampu memberdayakan sumber daya tanaman dan lingkungan, petani dan prilaku budaya serta kelembagaannya; Jenis/komoditas pilihan yang cocok adaptif dan marketable/diterima, jumlah bibit/benih yang mencukupi untuk pengembangannya sekala luas; ada lahan yang tersedia memadai dan tenaga trampil dalam jumlah cukup, familier dengan teknologi maju berikut peralatan mekanisasi yang mempercepat kinerja; dan pasar yang menjamin. Empat faktor diatas akan berjalan dengan baik jika di dukung adanya sumber pembiayaan (dana) yang memadai dan keseriusan pemerintah untuk mandiri pangan.
Sebagai gambaran umum penerapan intensifikasi teknologi budidaya kedelai harus dapat dipastikan tujuh tepat yang utama.
Tujuh tepat yang harus dipenuhi tersebut untuk mencapai keberhasilan adalah:
1. Penyiapan lahan yang tepat, sesuai dengan jenis tanah dan musim tanam yang tepat.
2. Penentuan dan penggunaan bibit unggul yang sehat dengan kemurnian tinggi dengan daya tumbuh
lebih dari 80 %, pola tanam yang tepat (Monokultur).
3. Waktu tanam yang tepat dan serempak dengan rencana penjadwalan kegiatan yang mendasarkan kepastian waktu/musim, ketersediaan air dan tenaga kerja/mekanisasi.
4. Aplikasi Bio P 2000 Z dengan paket penuh termasuk rhizobium yang dilakukan secara tepat dan disiplin serta inovatif.
5. Kontrol pengamatan tumbuh-kembang standar tanaman, laporan kemajuan (progress) sebagai indikator keberhasilan tanam-tumbuh untuk memastikan panen dan luasan intensif; serta menentukan pendekatan kebutuhan unsur hara (pemupukan).
6. Drainase yang tegas pada musin penghujan dan pengairan pada musim kering melalui pengaturan ukuran bedengan dan saluran irigasinya untuk memastikan kondisi tanah tidak kebanjiran/becek dan lembab, kadar air sekitar 50% - 75 % (kapasitas lapang).
7. Pengendalian hama secara preventif dengan tetap mewaspadai adanya serangan hama dan penyakit dengan prinsip dan penerapan Pest Integrated Management.
Tujuh tepat tersebut dapat di penuhi melalui langkah-langkah teknis yang mendukung dan sebagai standar budidaya, yaitu:
1. Pemilihan Lokasi
Lokasi budidaya yang dipilih harus memperhatikan yang sesuai dengan syarat ekologis hidup tanaman (terutama syarat agronomis), ketersediaan air, dapat dijangkau untuk masuknya saprotan dan pengangkutan hasil panen, mudah diawasi dan tidak bermasalah. Sebelum menetapkan lokasi perkebunan kedelai maka perlu dikaji lebih mendalam karakter sosio-cultural masyarakat, ketepatan musim dan kelayakan lokasi dengan melalui survey agar budidaya tepat teknologi dapat berjalan dengan baik dan berkelanjutan
Syarat agro-ekologis untuk budidaya kedelai:
Ketinggian tempat yang sesuai untuk kedelai adalah: 0 meter – 800 meter dpl. Ketinggian tempat akan berpengaruh terhadap pertumbuhan, fisiologis dan umur tanaman, korelasinya dominan akibat: suhu udara/lingkungan, lama penyinaran intensif, kelembaban udara, ketersediaan air tanah (lembab nisbi dan untuk aplikasi teknologi), porositas tanah, kecepatan angin, populasi hama yang menghambat kecepatan pertumbuhan tanaman dan umur/masa panen. Kondisi ideal untuk kedelai tumbuh normal di daerah tropis dengan teknologi ini adalah suhu: 26 – 34 oC (optimal 28-32 oC), lama penyinaran 8 - 12 jam, kelembaban nisbi 80% - 95%, kadar air tanah 75% (diatur dengan drainase dan irigasi), angin bertiup sepoi-poi/tidak kencang, tanah cukup bahan organik. Pada agroklimat dan kondisi yang menyimpang seperti penanaman kedelai di luar ketinggian tersebut maka perlu pemilihan varietas yang cocok dan perlu perlakuan spesifik teknologi. .....
==========
bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar